Transaksi short selling dapat menjadi pilihan alternatif investor untuk berinvestasi di saham maupun investasi lainnya. Namun, transaksi ini memiliki profil risiko yang cukup tinggi, karena secara sederhana, investor seperti ‘meminjam’ terlebih dahulu dana dari Anggota Bursa (AB) untuk membeli suatu saham.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan kabar terkini terkait kebijakan short selling. Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK, Inarno Djajadi mengatakan bahwa mekanisme transaksi itu ditargetkan dapat meluncur pada Oktober 2024.
“Iya [short selling meluncur pada bulan Oktober], doakan saja mudah-mudahan, ya,” ucap Inarno di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (22/7/2024).
Bursa Efek Indonesia (BEI) bersiap memberlakukan kembali transaksi short selling pada Oktober 2024 dalam rangka membangkitkan gairah investor di pasar saham, meningkatkan likuiditas dan fair price discovery serta menyediakan sarana bagi investor untuk memanfaatkan momentum pasar yang bearish.
Secara definisi, short selling adalah transaksi jual beli saham, dimana seorang investor tidak memiliki saham untuk melakukan transaksi tersebut. Ini merupakan suatu teknik perdagangan saham yang kerap dilakukan oleh investor dengan tingkat risiko kerugian cukup tinggi.
Maka dari itu, transaksi short selling ini biasanya dilakukan oleh investor-investor berpengalaman. Alasannya karena diperlukan dugaan atau perkiraan yang tepat dalam melakukan transaksi ini.
Short selling adalah wujud dari transaksi yang dilakukan oleh investor menggunakan sistem meminjam saham. Tujuan dari meminjam dana tersebut, untuk menjual saham dengan harga lebih tinggi. Harapannya, investor tersebut dapat membelinya ketika harga saham sedang turun.
Mekanisme short selling adalah seorang investor meminjam saham kepada pihak lain misalnya pialang saham. Setelah itu, saham tersebut dengan harga yang lebih tinggi untuk mendapat keuntungan.
Kunci utamanya, pelaku short selling harus bisa melihat pergerakan pasar dan memperkirakan kapan harga akan turun. Ketika harga sudah turun, investor lantas membelinya kembali dan mengembalikannya pada pialang saham.
Perlu Anda ketahui, bahwa tidak semua saham bisa ditransaksikan melalui teknik short selling. Saham-saham yang bisa ditransaksikan dengan short selling harus ditetapkan terlebih dahulu oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
Saat ini, memang BEI sedang menggodok aturan terkait transaksi short selling di pasar saham. Namun dengan diperlonggarnya persyaratan short selling, maka dalam waktu dekat AB dapat bertransaksi menggunakan short selling.
Transaksishort sellingdi Indonesia sejatinya sudah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 55 tahun 2020 Tentang Pembiayaan Transaksi Efek Oleh Perusahaan Efek Bagi Nasabah dan Transaksi Short Selling Oleh Perusahaan Efek.
Tak hanya BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjadi regulator dan tentunya memiliki aturan terkait transaksi short selling, dalam proses dan masa peminjaman yang terjadi di transaksishort selling juga perusahaan sekuritas atau Anggota Bursa terapkan peraturan, yaitu investor harus mengembalikan lagi saham ke pemilik sesuai perjanjian.
Jika melanggar, investor akan terkena denda dan penyitaan jaminan. Strategi ini berlandaskan spekulasitraderatas penurunan harga suatu instrumen investasi.
Meskipun dapat menghasilkan keuntungan besar jika prediksi tepat, short selling berisiko tinggi karena potensi kerugian tidak terbatas jika harga saham naik.
Meski demikian, terdapat beberapa sosok yang sukses dalam melakukan short selling tersebut.
Berikut rangkumannya dari beberapa sumber.
1. Kenneth C. Griffin
Kenneth C. Griffin, atau dapat dipanggil Ken Griffin, yang merupakan pendiri dan CEO Citadel, sedang menikmati puncak kesuksesan setelah mencatatkan tahun paling menguntungkan dalam sejarah hedge fund.
Dengan kekayaan yang diperkirakan mencapai US$ 35 miliar atau sekitar Rp 573.61 triliun, meningkat US$ 7,8 miliar dibandingkan tahun sebelumnya dan hampir tiga kali lipat dari tahun 2020.
Citadel’s flagship Wellington fund mencatatkan keuntungan 38% pada tahun 2022, sementara S&P 500 turun hampir 20%.
Citadel terkenal di kalangan investor ritel karena perannya dalam short squeeze saham GameStop (NYSE: GME) pada tahun 2021.
Saat itu, Citadel turun tangan untuk menyelamatkan hedge fund Melvin Capital dengan suntikan dana sebesar US$ 2 miliar setelah perusahaan tersebut terpukul keras oleh taruhan besar short sell pada saham GME.
2. Steve Cohen
Dengan kekayaan bersih US$ 17,5 miliar, Steve Cohen adalah pendiri Point72 Asset Management, yang mengelola aset senilai US$ 27 miliar.
Kesuksesannya di SAC Capital, yang kemudian bertransformasi menjadi Point72, didasarkan pada perdagangan berisiko tinggi dengan imbal hasil tinggi.
Salah satu momen paling berkesan adalah ketika Cohen melakukan short sell pada Ardea Biosciences pada awal 2012, yang menghasilkan keuntungan hampir US$ 40 miliar setelah akuisisi oleh AstraZeneca.
Selain itu, Cohen juga dikenal sebagai pemilik New York Mets, yang dibelinya seharga US$ 2,4 miliar pada tahun 2020.
3. George Soros
George Soros, yang lahir di Hungaria dan kemudian pindah ke Inggris pada 1947, adalah pendiri Soros Fund Management. Ia dikenal sebagai “the man who broke the Bank of England” setelah melakukan short sell spektakuler terhadap pound Inggris pada tahun 1992.
Soros bertaruh US$ 10 miliar melawan pound, yang menyebabkan devaluasi mata uang tersebut dan menghasilkan keuntungan US$ 1 miliar. Peristiwa ini dikenal sebagai “Black Wednesday” dan menjadi salah satu momen paling bersejarah dalam dunia investasi.
4. John Paulson
John Paulson, pendiri Paulson & Co., mendapatkan reputasi sebagai investor yang cerdas dengan memanfaatkan pergeseran pasar. Salah satu short sell paling mengesankan adalah saat melawan hipotek subprime setelah gelembung kredit tahun 2007.
Paulson menghasilkan US$ 1,25 miliar dalam satu pagi ketika New Century, pemberi pinjaman subprime, mengumumkan masalah keuangan. Kesepakatan ini juga membuat hedge fund-nya meraih keuntungan luar biasa sebesar US$ 15 miliar pada tahun 2007.
5. Bill Ackman
Bill Ackman, CEO dan pendiri Pershing Square Capital Management, dikenal sebagai investor aktivis dengan strategi yang sering kontroversial. Salah satu momen terbesarnya adalah saat mengambil posisi short sebesar US$ 1 miliar terhadap perusahaan wellness Herbalife pada tahun 2012.
Ackman menuduh bahwa struktur bisnis Herbalife adalah skema piramida. Meskipun akhirnya short ini tidak berhasil, karena FTC mengizinkan Herbalife tetap beroperasi setelah membayar US$ 200 juta dalam bentuk ganti rugi konsumen dan melakukan reformasi besar dalam praktik bisnisnya, aksi ini tetap menarik perhatian besar.