Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau kembali ambles hingga 1% lebih pada perdagangan sesi I Jumat (15/11/2024),di tengah makin memburuknya sentimen pasar global setelah bank sentral Amerika Serikat (AS) mengindikasikan akan memperlambat laju pemangkasan suku bunga.
Per pukul 11:06 WIB, IHSG ambles 1,09% ke posisi 7.135,944. IHSG pun kembali ke level psikologis 7.100 pada sesi I hari ini.
Nilai transaksi indeks pada sesi I hari ini sudah mencapai sekitar Rp 5 triliun dengan melibatkan 13,8 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 643.903 kali. Sebanyak 126 saham menguat, 420 saham melemah, dan 211 saham cenderung stagnan.
Terpantau seluruh sektor berada di zona merah pada sesi I hari ini, dengan sektor bahan baku dan energi menjadi yang paling parah dan juga membebani IHSG paling besar yakni mencapai 2,59% dan 2,23%.
Sementara dari sisi saham, emiten pertambangan batu bara raksasa PT Bayan Resources Tbk (BYAN), emiten pertambangan Grup Salim PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), dan emiten konglomerasi Prajogo Pangestu PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi penekan terbesar IHSG masing-masing mencapai 14,4, 9,1, dan 5,7 indeks poin.
Berikut saham-saham yang menjadi penekan IHSG di sesi I hari ini.
IHSG kembali merana di tengah kabar dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan memperlambat pemangkasan suku bunga acuannya dan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada Januari 2025.
Chairman The Fed Jerome Powell, mengisyaratakan The Fed akan memperlambat pemangkasan suku bunga. Kondisi ini didasari bahwa pertumbuhan ekonomi AS yang kuat. The Fed bahkan mengatakan pertumbuhan ekonomi AS menjadi salah satu yang terbaik di dunia.
“Ekonomi tidak memberikan sinyal bahwa kita harus terburu-buru untuk menurunkan suku bunga,” kata Powell dalam sambutannya kepada para pemimpin bisnis di Dallas, dikutip dari CNBC International.
Ekonomi AS tumbuh 2,8% pada kuartal III-2024, sedikit lebih rendah dari yang diperkirakan tetapi masih lebih tinggi dari tren historis AS sekitar 1,8%-2%. Proyeksi awal menunjukkan ekonomi AS akan tumbuh 2,4% pada kuartal IV-2024.
Powell juga menambahkan jika pasar tenaga kerja tetap kuat meskipun ada persoalan lapangan pekerjaan yang mengecewakan pada Oktober yang sebagian besar dia atribusikan pada kerusakan akibat badai di dan pemogokan pekerja. Jumlah pekerjaan non-farm payrolls (NFP) hanya bertambah 12.000 pada Oktober 2024, terendah sejak Desember 2020.
Mengenai inflasi, ia menyebutkan bahwa telah ada kemajuan dan pejabat The Fed memperkirakan inflasi akan terus bergerak kembali ke arah target 2%. Namun, data inflasi minggu ini menunjukkan adanya sedikit kenaikan pada harga konsumen dan produsen yang semakin menjauh dari target Fed.
“Inflasi berjalan lebih dekat ke target jangka panjang 2% kami, namun masih belum tercapai. Kami berkomitmen untuk menyelesaikan tugas ini,” kata Powell.
Sebagai catatan, inflasi AS merangkak naik ke ke 2,6% (year-on-year/yoy) pada Oktober dari 2,4% (yoy) September 2024. Tingkat pengangguran mencapai 4,1% pada September 2023. Angka pengangguran bahkan sempat menyentuh 4,3% pada Juli 2024 yang merupakan rekor tertinggi sejak Oktober 2021.
Sementara itu dari dalam negeri, Rencana kenaikan PPN sebesar 12% pada 2025 tengah menjadi sorotan masyarakat.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan penerapan tarif pajak PPN sebesar 12% pada 2025 sudah melalui pembahasan yang panjang dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Semua indikator sudah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
“Bukannya membabi buta, tapi APBN memang tetap harus dijaga kesehatannya,” kata Sri Mulyani saat rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Rabu (13/11/2024)
Penerapan tarif baru sudah tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, dari 10% menjadi 11% pada 2022 dan kemudian menjadi 12% pada 2025.
Kenaikan PPN diperkirakan akan semakin membebani daya beli masyarakat yang tengah melemah serta ekonomi Indonesia. Dengan kenaikan PPN maka masyarakat harus memberi barang lebih mahal. Padahal, konsumsi masyarakat Indonesia menyumbang 53-56% dari total konsumsi.
Alhasil, ketika daya beli semakin terpuruk, maka akan berimbas ke perekonomian Indonesia itu sendiri, mulai dari aktivitas manufaktur yang tak kunjung bangkit, potensi penjualan ritel semakin lesu, dan indeks keyakinan konsumen (IKK) berpotensi kembali lesu.