Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indrawati pada 9 September 2024 bertemu dengan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto dan Wakil Menteri Keuangan II, Thomas Djiwandono. Berbagai pembahasan menjadi daya tarik tersendiri seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 serta Rancangan Undang-Undang (RUU APBN) 2025.
“Saya bisa katakan di sini pertemuannya sangat-sangat hangat berlangsung hampir 3 jam,” kata Thomas ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu, (11/9/2024).
Thomas juga mengatakan Sri Mulyani merasa perlu menjelaskan kondisi APBN 2024 di tiga bulan terakhir ini. Setelahnya, barulah Sri Mulyani menjabarkan mengenai RAPBN 2025 yang tengah dibahas di DPR dan akan menjadi APBN pertama Prabowo.
Kilas Balik Sri Mulyani & Prabowo
Pertemuan yang hangat antara Sri Mulyani dan Prabowo pada awal pekan ini cukup mengejutkan banyak pihak. Pasalnya hubungan Sri Mulyani dan Prabowo seringkali dinilai masyarakat cukup berjarak.
Rumor soal perbedaan pandangan dan sikap dalam mengelola keuangan negara menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pelaku pasar khususnya soal sikap Prabowo yang dinilai cukup agresif dalam mendorong ekonomi Indonesia, sementara Sri Mulyani cenderung lebih berhati-hati. Hal ini bahkan tidak hanya disorot oleh warga RI, melainkan hingga media asing.
“Kemungkinan menteri keuangan Indonesia yang disegani tidak akan menjadi bagian dari kabinet baru di bawah pemimpin baru, Prabowo Subianto, mengkhawatirkan investor dan ekonom,” muat media Jepang Nikkei Asia, dalam artikel berjudul ‘Prabowo’s call on Indonesia’s finance chief worries investors’ yang diterbitkan Jumat (8/3/2024).
Dikatakan media tersebut, beberapa janji pemilu Prabowo sangat “ambisius” dan “telah menimbulkan kekhawatiran fiskal”.
“Lembaga pemeringkat kredit mengatakan Indonesia berisiko menghabiskan anggarannya jika Prabowo memenuhi janjinya untuk memberikan makan siang gratis di sekolah kepada hampir 80 juta anak dan lebih dari 4 juta ibu hamil setiap tahunnya,” muatnya.
Pada saat itu, bahkan Prabowo sudah mengatakan hal tersebut tak akan jadi masalah. Walau rasio utang RI terhadap PDB akan mencapai 50%, naik dari hampir 40%.
“Indrawati dilaporkan tidak setuju dengan Prabowo dalam berbagai masalah, mulai dari pengadaan peralatan militer hingga kesejahteraan sosial. Perselisihan yang semakin meningkat di antara mereka menjelang pemilu 14 Februari bahkan telah memicu spekulasi bahwa ia akan mengundurkan diri lebih awal karena Jokowi meningkatkan dukungan terhadap Prabowo melalui serangkaian kebijakan populis,” muat media tersebut lagi, menyebut nama belakang Sri Mulyani.
Sikap Sri Mulyani pun ketika ditanya perihal Makan Siang Gratis dianggap berbeda pandangan dengan Prabowo, khususnya setelah ia tidak bisa menjawab perihal anggaran makan siang gratis yang ada di APBN.
Beberapa bulan kemudian, Sri Mulyani dengan bersama dengan Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka melakukan konferensi pers mengenai Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Lebih lanjut, Sri Mulyani akhirnya buka suara perihal Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran Rp71 triliun pada 2025.
“Tujuannya juga untuk menciptakan anak cerdas tapi juga multiplier effect untuk UMKM dan daerah,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers RAPBN 2025 di Jakarta.
Sebagai informasi, program itu berupa pemberian makan siang kepada ibu hamil, ibu menyusui, balita, serta peserta didik di seluruh jenjang pendidikan antara lain prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, baik umum, kejuruan, maupun keagamaan.
Langkah Sri Mulyani yang tetap mendukung program MBG yang juga merupakan program andalan Prabowo ini memicu isu soal majunya beliau sebagai menteri keuangan di era Prabowo.
Ekonom senior Indef, yang juga merupakan Guru Besar Ekonomi IPB, Didin S Damanhuri mengatakan Sri Mulyani yang menjadi menteri keuangan selama 10 tahun terakhir terpantau mampu menjaga stabilitas makro ekonomi di dalam negeri, serta disiplin dalam mengelola fiskal.
“Hemat saya beliau ini woman of stability, jadi prudent dalam menata keuangan, makro,” kata Didin kepada CNBC Indonesia, Jumat (13/9/2024).
Di pasar uang, nama Sri Mulyani menurut Didin juga memang dipercaya, terbukti dari defisit APBN yang selalu bisa dipenuhi dengan utang, hingga akhirnya utang 10 tahun terakhir terus membengkak mencapai Rp8.502,69 triliun, belum termasuk utang BUMN, dan obligor BLBI yang belum terkumpul.
“Tetapi, itu kan (stabilitas fiskal) ada booster utang, jadi justru selama 10 tahun terakhir dalam sejarah ada akumulasi utang terbesar dibanding pemerintahan sebelum-sebelumnya,” tutur Didin.
Kendati dari sisi stabilitas, Didin mengakui keandalan Sri Mulyani, namun ia sangsi bahwa pelaku pasar keuangan di sektor riil masih menaruh hati pada Sri Mulyani. Sebab, beberapa tahun terakhir PHK marak terjadi di tengah ketatnya belanja negara, ditambah pula dengan terus menyusutnya jumlah kelas menengah.
Hasil Pertemuan Prabowo-Sri Mulyani
Rancangan anggaran belanja K/L seusai pertemuan Prabowo dan Sri Mulyani menjadi sebesar Rp1.160,08 triliun, dari postur sementara yang dibahas sebelumnya di Badan Anggaran atau Banggar DPR sebesar Rp1.094,65 triliun. Sementara itu, belanja non K/L berkurang menjadi Rp1.541,35 triliun dari sebelumnya Rp1.606,78 trilun.
“Terjadi perkembangan mengikuti diskusi yang dilakukan Ibu Menkeu dengan Pak Presiden Terpilih terakhir kemarin siang,” kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata saat rapat kerja dengan Banggar DPR, Jakarta, dikutip Rabu (11/9/2024).
Kendati terjadi perubahan, namun defisit anggaran yang rancangannya sebesar Rp616,19 triliun atau 2,53% dari PDB berubah, lantaran pembengkakan belanja K/L itu hanya menggeser pos alokasi anggaran dari belanja non K/L.
Sebagai informasi, jika defisit anggaran ini benar terjadi sebesar Rp616,19 triliun, maka hal ini akan menjadi defisit terbesar Indonesia sejak 2022 yang pada saat ini sebesar Rp840,2 triliun.
Dengan naiknya anggaran K/L, artinya pemerintahan Prabowo akan berfokus pada Pendidikan, Kesehatan, Perlinsos, Ketahanan pangan, Infrastruktur, Hilirisasi industri, Peningkatan investasi, dan Pengarusutamaan gender.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata saat rapat kerja dengan Banggar DPR menyampaikan bahwa Prabowo telah menyusun secara rinci anggaran untuk 86 K/L di bawah kepemimpinannya. Setidaknya ada 10 besar K/L dari 86 yang mendapat persetujuan dari Prabowo untuk mendapat anggaran paling jumbo pada 2025 mendatang.
Kementerian tersebut antara lain, Kementerian Pertahanan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Badan Gizi Nasional, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perhubungan.
Jika dilihat lebih rinci, sepuluh kementerian ini memiliki total dana yang mengalami kenaikan 15,77% jika dibandingkan dengan RAPBN 2025, yakni dari Rp797 triliun menjadi Rp922,7 triliun.
Lebih lanjut, Kejaksaan Republik Indonesia yang sebelumnya masuk ke dalam top 10 kementerian dengan anggaran terbesar, akhirnya tersingkir dan digantikan oleh Badan Gizi Nasional dengan anggaran Rp71 triliun.
Isa juga menambahkan bahwa terdapat 15 kementerian atau lembaga bahkan mendapat tambahan anggaran khusus dari Presiden Terpilih Prabowo Subianto dalam RAPBN 2025 senilai Rp4,8 triliun.
Tambahan yang dimasukkan ke K/L itu seiring dengan adanya penetapan anggaran untuk program-program unggulan Prabowo yang disebut dengan Program Quick Win Presiden Terpilih Prabowo Subianto 2025 yang senilai Rp113 triliun. Dengan demikian total tambahan anggarannya Rp117,87 triliun dalam RAPBN 2025.
Selain ada perubahan dari sisi anggaran ini, tujuh asumsi dasar ekonomi makro Indonesia dalam RAPBN 2025 juga tampak ada perbedaan dengan APBN 2024.
Mulai dari pertumbuhan ekonomi yang hanya 5,2% mengindikasikan pemerintahan baru tidak terlalu agresif. Padahal, dalam berbagai kesempatan, Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 6-8%, hingga nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang justru relatif melemah ke level Rp16.100/US$.
Hal tersebut terjadi di tengah perekonomian global yang masih belum cukup baik hingga ketidakpastian global yang masih akan terjadi.